Sabtu, 20 September 2014

PENGARUH PERBEDAAN QIRAAT TERHADAP PENAFSIRAN AL-QUR’AN



MAKALAH
PENGARUH PERBEDAAN QIRAAT TERHADAP PENAFSIRAN AL-QUR’AN

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Kuliah:ilmu Qiraat
Dosen Pengampu: Bapak Fuad Nawawi, MA



 


  


Disusun oleh:
Mulya 14113450009
Muslikah 14113440040

PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS
FAKULTAS ADADIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SYEKH NURJATI CIREBON
2013






BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
            Tak ada yang meragukan bahwa Al-Qur'an adalah kitab suci umat muslim di seluruh dunia. Terlebih bagi umat muslim sendiri, AL-Qur'an merupakan pedoman hidup yang harus di junjung tinggi. Beriman kepadanya merupakan salah satu rukun iman. Al-Qur'an juga merupakan sumber hukum Islam yang teratas, dan diyakini esensinya merupakan wahyu yang diturunkan oleh Allah SWT.
            Sejak awal hingga akhir turunnya, Al-Qur'an telah ditulis dan didokumentasikan oleh para juru tulis yang diunjuk oleh Rasulullah kala itu. Di samping itu, seluruh ayat Al-Qur'an dinukil dan diriwayatkan secara mutawattir baik secara hafalan maupun tulisan. Melalui sejarah yang amat panjang, dengan proses yang tidak sebentar pula, Al-Qur'an sampai ke tangan kita dengan bentuk yang jauh berbeda dari awal penulisannya, meskipun tidak merubah esensi dan eksistensinya.
            Perkembangan tulisan dan pemaknaan Al-Qur'an yang sedemikian rupanya, telah membuat para ahli membuat suatu disiplin ilmu yang dinamakan Ulumul Qur'an. Disiplin ilmu ini, tentu memfokuskan pembahasannya seputar Al-Qur'an. Seiring dengan berkembangnya ulumul qur'an, ilmu qiraah muncul sebagai salah satu cabang dari ilmu tersebut.
            Sebagai civitas akademik yang konsen dalam bahasan tafsir dan hadits tentunya ilmu qiraah merupakan bahasan yang tidak boleh dilewatkan, bahkan cenderung wajib untuk ditelaah secara mendalam. Salah satu cabang dari Ulumul Qur'an ini membahas tentang perbedaan-perbedaan cara membaca, pelafalan dan hukum-hukumnya dengan objek Al-Qur'an itu sendiri. Tidak hanya yang mutawwatir, bahkan qiraah yang syadz juga akan dibahas.
            Pembahasan pada makalah ini akan mencakup istilah-istilah yang terdapat dalam ilmu qiraat, seperti qiraat itu sendiri, riwayat, thuruq, aujah, ushul, dan farsy. Sekiranya pembahasan ini penting untuk disampaikan karena istilah-istilah tersebut merupakan salah satu hal yang fundamental dalam ilmu qiraah.


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Qiraat
            Qiraat merupakan bentuk jama' dari kata qiraah, dan secara etimologi kata tersebut merupakan kata yang dibentuk dari qaf, ra, dan alif)   (ق ر أ, dan qiraah tersebut merupakan bentuk mashdar-nya. Kata qiraah sendiri digunakan untuk beberapa makna, seperti:
     a) Mengumpulkan, atau bisa dikatakan dengan mengumpulkan sesuatu terhadap bagiannya.
     b)Tilawah, merupakan pelafalan dan pengucapan terhadap suatu kalimat yang tertulis. Qiraah bisa disamakan dengan tilawah, karena tilawah merupakan bentuk kegiatan pelafalan atas sesuatu yang termuat dalam sebuah teks sehingga lafal tersebut dapat didengar.[1]
            Sedangkan bila ditinjau dari segi terminologinya, qiraat ini memiliki beberapa pengertian dalam kaca mata ulama qiraah, di antaranya:
     a)      Menurut Imam Al-Zamakhsyari, qiraah adalah perbedaan pelafalan atau pelafadzan wahyu yang tertuang dalam bentuk tulisan ataupun tata cara membacanya, seperti takhfif, tatsqil dan lain sebagainya.[2]
     b)      Menurut Imam Ibnu Al-Jizriy, qiraah adalah ilmu tentang tata cara penulisan Al-Qur'an dan perbedaan-perbedaan yang ada di dalamnya.
c)      Sedangkan menurut Imam Al-Qusthalaniy, qiraah adalah ilmu yang menjelaskan tentang persamaan pendapat para ulama mengenai Al-Qur'an dan perbedaannya dalam bahasa dan i'rab, hadzf dan itsbat, fashl dan washl, dan lain sebagainya.[3]
d)     Kemudian, Ad-Dimyathi berpendapat bahwa qiraah adalah suatu ilmu untuk mengetahui cara pengucapan lafal-lafal Al-Quran, baik yang disepakati maupun di-ikhtilaf-kan oleh para ahli qiraat, seperti: hazf (membuang huruf), itsbat (menetapkan huruf), tahrik (memberi harakat), taskin (memberi tanda sukun), fashl (memisahkan huruf), washl (menyambungkan huruf), ibdal (menggantikan huruf atau lafaz tertentu), dan lain-lain yang diperoleh dari indera pendengaran.
e)      Muhammad ali al-shabuni dan manna al qaththan memiliki pandangan bahwa suatu mazhab tertentu dalam cara pengucapan Al-Qur'an dianut oleh salah seorang imam qiraat yang bebeda dengan mazhab lainntya, berdasarkan sanad-sanadnya yang bersambung sampai kepada Nabi Muhammad SAW.
            Dari beberapa pendapat para ulama yang mengemukakan pegertian tentang qiraah, dapat ditarik kesimpulan yang membentuk dua madzhab:
1.      Madzhab pertama menganggap bahwa qiraah itu memiliki pertanda yang luas dalam pelafalan. Qiraah tersebut mencakup perkara tentang lafadz-lafadz Al-Qur'an yang telah disepakati dan masih diperseliihkan.
2.      Madzhab yang kedua memiliki pandangan bahwa pemahaman qiraah tersebut merupakan bentuk ringkasan dari lafadz-lafadz Al-Qur'an yang masih diperselisihkan.[4]
            Secara ringkas pengertian dari qiraah ialah ilmu yang menerangkan tentang macam-macam bacaan Al-Qur'an, antara yang sahih dan tidak sahih.[5]
2.2 Riwayat
            Riwayat (روايات) merupakan bentuk jama' dari riwayah (رواية), dan nerupakan bentuk mashdar dari kata ra, wa, ya (ر و ي).  Secara etimologi riwayat dapat diartikan:
a)      Membawa sesuatu, orang arab sering berkata, "Si Fulan membawa uang untuk membayar denda."
b)      Pemindahan atau penukilan.[6]
            Sedangkan menurut istilah, riwayat adalah istilah yang digunakan apabila qiraat Al-Qur'an dinisbatan terhadap para rawi yang konsen di bidang ini (qiraah).
            Contoh: Riwayat Qalun dari Nafi'. Dalam kalimat tersebut menandakan bahwa Qalun menggunakan qiraat untuk membaca Al-Qur'an berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Imam Nafi'.

2.3 Thuruq
            Kata ini merupakan bentuk jama' dari tahriq (طريق), dan kata tersebut terbentuk dari dasar kata tha, ra, qaf (ط ر ق). Arti etimologi dari thariq ialah jalan yang luas yang dilalui oleh orang banyak.[7] Sedangkan pengertian terminologinya adalah apabila qiraat Al-Qur'an dinisbatkan kepada salah seorang perawi qiraat dari perawi lainnya. [8]
            Contoh: Thariq Nasyith dari Qalun. Dari kalimat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa Nasyith menggunakan qiraat dari Qalun, di mana sebelumnya telah dijelaskan bahwa Qalun mengambil qiraat dari Nafi'.
2.4 Aujah
Aujah (أوجه) merupakan bentuk jama' dari kata wajh (وجه), dan merupakan salah satu bentuk derifaksi dari kata waw, jim, dan ha (و ج ه). Secara bahasa kata tersebut dapat dapat digunakan untuk sesuatu yang jelas dan terang, sesuatu yang di samping, menunjuk arah, ataupun macam dan bagian.[9] Sedangkan menurut terminologi dari tinjauan ilmu qiraah, wajh digunakan untuk qiraat Al-Qur'an yang dinisbatkan kepada seorang pembaca Al-Qur'an berdasarkan pilihannya terhadap versi qiraat tertentu.[10]
            Contoh: Wajh Fulan dari Nasyith. Jadi Fulan menggunakan versi qiraat Nasyith dalam membaca Al-Qur'an.
2.5 Ushul dan Farsy
            Pengertian ushul dalam ilmu qiraat adalah bacaan-bacaan yang jelas seperti hukum-hukum yang tertata dalam setiap surat dalam Al-Qu'an. Pembahasan yang terdapat dalam ushul ini, hampir sama dengan apa yang dibahas dalam ilmu tajwid. Adapun pembahasannya:
a)      Waqaf dan ibtida
b)      Idgam dan Tabyin
c)      Mad dan Qashar
d)     Hamz dan talyin
e)      Imalah dan Fath
f)       Tafhim dan Tarqiq
g)      Al-Ha'at
h)      Ahkam al-ya'at
i)        washl mim al-jama' dan ha dhamir.[11]
            Pada dasarnya ushul dan farsy memiliki persamaan, karena yang dimaksud dengan farsy adalah apabila hukum-hukum bacaan tersebut belum tertata, atau bagian yang telah tertata lebih sedikit dari ushul. Disebut demikian karena apabila terdapat hukum bacaan yang ada dalam surat-surat Al-Qur'an dan belum terjamahkan dalam bagian ushul maka itu akan disebut farsy karena belum tersusun layaknya ushul. Sebagian ulama qiraah beranggapan bahwa farsy tersebut merupakan cabang dari ushul.[12]
            Imam Syiabudin Abdurrahman bin Ismail, menukil dari pandangan Abu Syamah Al-Muqaddasiy, bahwa huruf yang tujuh (al-ahruf as-sab'ah) yang diturunkan dengan Al-Qur'an Karim tersebut merupakan ushul yang sebenarnya, yang disesuaikan dengan ilmu nahwu yang telah disepakati.[13]

 

BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
            Demikianlah pembahasan mengenai istilah-istilah yang berkaitan dengan ilmu qiraah. Dari mulai qiraah itu sendiri di mana banyak ulama yang memberikan definisi mengenai kata tersebut. Salah satunya ialah Al-Zamakhsyari yang mengungkapkan bahwa qiraah adalah perbedaan pelafalan atau pelafadzan wahyu yang tertuang dalam bentuk tulisan ataupun tata cara membacanya, seperti takhfif, tatsqil dan lain sebagainya.
            Untuk selanjutnya riwayat merupakan istilah yang digunakan apabila qiraat Al-Qur'an dinisbatan terhadap para rawi yang konsen di bidang ini (qiraah). Thuruq merupakan suatu bentuk qiraat Al-Qur'an dinisbatkan kepada salah seorang perawi qiraat dari perawi lainnya. Sedangkan aujah memiliki pengertian apabila qiraat Al-Qur'an yang dinisbatkan kepada seorang pembaca Al-Qur'an berdasarkan pilihannya terhadap versi qiraat tertentu.
            Untuk pembahasn yang terakhir dalam materi kali ini ialah ushul dan farsy. Keduanya memiliki keterkaitan yang amat erat. Ini dikarenakan pengertian ushul dalam ilmu qiraat yang merupakan bacaan-bacaan yang jelas seperti hukum-hukum yang tertata dalam setiap surat dalam Al-Qu'an. Sedangkan  farsy adalah hukum-hukum bacaan yang belum tertata, atau bagian yang telah tertata lebih sedikit dari ushul.

Wallahu a'lam bishowab ....
Semoga Bermanfaat.



 
DAFTAR PUSTAKA
·         Nabil bin Muhammad, Ilmu Qira'at, 2000, Riyadh: Maktabah Taubah
·         Sa'id Agil Husin Al-Munawir, Al-Qu'an Membawa Tradisi Kesalehan Hakiki, 2007, Jakarta: Ciputat Press
·         Hasanuddin, Perbedaan Al-Qur'an, 1995, Jakarta: Raja Grafindo Press
Dr. Sayyid Rizq Ath-Thawil, fi ulumil qira'at, 1985, Mekah: Maktabah Fithiyyah,


[1] Nabil bin Muhammad, Ilmu Qira'at, 2000, Riyadh: Maktabah Taubah, hal. 26.
[2] Ibid, hal. 27.                                                                                                     
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Sa'id Agil Husin Al-Munawir, Al-Qu'an Membawa Tradisi Kesalehan Hakiki, 2007, Jakarta: Ciputat Press, hal. 7
[6] Ob Cit, hal. 26
[7] Ibid, hal. 29.  
[8] Ibid, hal. 29.
[9] Ibid, hal. 30.
[10] Hasanuddin, Perbedaan Al-Qur'an, 1995, Jakarta: Raja Grafindo Press, hal. 115.
[11] Dr. Sayyid Rizq Ath-Thawil, fi ulumil qira'at, 1985, Mekah: Maktabah Fithiyyah, hal. 157.
[12] Ibid
[13] Ibid, hal. 158.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar