Selasa, 06 Mei 2014

Makalah tafsir bi al ro'y


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Tafsir Bir Ra’yi
Berdasarkan etimologi, Ra’yi berarti keyakinan (I’tiqad), analogi (qiyas) dan ijtihad Dan ra’yi dalam terminology tafsir adalah ijtihad. Dengan demikian, tafsir bi ar- ra’yi (disebut jugga tafsir dirayah), sebagaimana di defenisikan Adz- Dzahabi – adalah tafsir yang penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufassir setelah mengetahui bahasa arab dan metodenya, dalil hokum yang di tunjukkan, serta problema penafsiran, seperti asbab nuzul, dan nasikh – mansukh..[1]
B.     Syarat-Syarat Mufasir Bir ra’yi
Ada beberapa ketentuan sebagai syarat yang harus dipenuhi oleh mufassir berkaitan dengan diterima tidaknya dalam  melakukan tafsir bi al-ra’yi, yaitu, sebagai berikut;[2]
a.    Mempunyai keyakinan (al-i’tiqād) yang lurus dan memegang teguh ketentuan-ketentuan agama
b.    Mempunyai tujuan yang benar, ikhlas semata-mata untuk mendekatkan diri (al-taqarrub) kepada Allah swt.
c.    Bersandar pada naql pada Nabi saw. dan para sahabat, serta menjauhi bid’ah.
d.   Menguasai 15 bidang ilmu yang diperlukan oleh seorang mufassir, antara lain; ilmu al-nahwu, al-lughah, al-tarīf, al-istiqāq, ‘ilm al-ma’āniy,’ ilm al-badī’, ‘ilm al-qirā’at, ushul al-dīn, ushūl al-fiqh, asbāb al-nuzūl, ‘ilm al-nāsikh wa al-mansūkh, fiqh, hadis-hadis yang menjelaskan tafsir al-mujmāl dan al-mubhām, serta ‘ilm al-mauhibah.
Menurut al-Dzahabi, ada lima perkara yang harus dijauhi oleh seorang mufassir agar tidak jatuh dalam kesalahan dan tidak termasuk pentafsir bi al-ra’yi yang fasid. Lima perkara tersebut adalah[3]
a.    Menjelaskan maksud Allah Swt. dalam al-Qur’an dengan tanpa memenuhi terlebih dahulu syarat-syarat sebagai seorang mufassir.
b.    Mencampuri hal-hal yang merupakan monopoli Allah untuk mengetahuinya, seperti ayat-ayat al-mutashābihāt yang tidak dapat diketahui kecuali oleh Allah sendiri.
c.    Melakukan penafsiran seiring dengan dorongan hawa nafsu dan kepentingan pribadi
d.   Menafsirkan al-Qur’an untuk mendukung madzhab yang fasid, sehingga faham aliran menjadi pokok dan tafsir dipaksakan selaras untuk mengikuti keinginan madzhabnya.
e.    Menafsirkan dengan memastikan, “demikianlah kehendak Allah” terhadap tafsirannya sendiri padahal tanpa ada dalil yang  mendukungnya.
Syarat-syarat dan hal yang harus dijauhi oleh seorang mufassir tersebut merupakan acuan untuk mengukur diterima tidaknya sebuah produk tafsir al-Qur’an bi al-ra’yi. Dengan ketentuan-ketentuan tersebut secara tidak langsung merupakan syarat mendapatkan legitimasi jumhur ulama untuk diakui dan ditetapkan sebagai seorang mufassir.
C.     Sebab-sebab Timbulnya Tafsir Bir Ra’yi
Mula-mula tafsir al-Qur’an disampaikan secara syafāhiy (wicara, dari mulut ke mulut). Kemudian setelah dimulai pembukuan kitab-kitab kumpulan hadis, maka tafsir al-Qur’an dibukukan bersama-sama dengan hadis, dan merupakan satu dari beberapa bab yang terkandung dalam kitab hadis. Pada masa itu belum ada penafsiran ayat per ayat, surat per surat, dari permulaan mushaf sampai dengan akhir, dan belum ada penafsiran per judul pembahasan.
Pada akhir pemerintahan Bani Umayyah dan awal pemerintahan Bani Abbasiyah, di tengah-tengah masa pentadwinan cabang-cabang ilmu pengetahuan, tafsir al-Qur’an mulai memisahkan diri dari hadis, hidup mandiri secara utuh dan lengkap. Dalam artian, tiap-tiap ayat mendapat penafsiran, secara tertib menurut urutan mushhaf.
Penafsiran al-Qur’an pada masa-masa pertama memakai cara naqli, yaitu yang terkenal dengan istilah al-manhaj al-tafsīr bi al-ma’thūr. Setelah itu para ahli ilmu menafsirkan al-Qur’an menurut keahlian mereka masing-masing. Kemudian setelah lahirnya sekte-sekte aqidah didukung dengan semakin berkembangnya ilmu-ilmu kebahasaan dibuktikan dengan dijadikan ilmu tersebut sebagai disiplin ilmu tersendiri, bermuncullah penta’wilan terhadap ayat-ayat mutasyabihat, untuk menopang paham mereka masing-masing, meskipun sebenarnya bibit-bibit ta’wil al-Qur’an sudah dimulai oleh beberapa sahabat, seperti ‘Aliy bin Abi Ṭālib, ‘Abdullāh bin Mas’ūd, dan ‘Abdullāh bin ‘Abbās ra. Kemudian setelah itu, melalui Mu’tazilah, terjadilah perluasan tafsir bi al-ra’yi, sehingga tidak terjadi pertentangan antara nash al-Qur’an dan akal pikiran, seperti kitab tafsir al-Kashshaf oleh al-Zamakhshāriy[4]

D.    Pedoman Penafsiran dengan Ro’yi
Faktor yang harus di penuhi dalam penafsiran secara ra’yu, terdiri atas empat pokok sebagaimana yang kutip oleh Ali Ash-Shaabuuniy yang dikemukakan oleh Az-Zarkasi dalam kitabnya Al-Burhan yang dikutip oleh Imam As-Suyuthi dalam kitabnya Al-Itqan, yaitu:
1.   Merujuk pada Al qur’an itu sendiri, dengan cara meneliti secara cermat, menghimpun ayat-ayat yang satu topic lalu membandingkannya dengan ayat lain.
2.   Dikutip dari Rasul dengan memperhatikan hadits-hadits yang daif dan maudhu’.
3.    Mengambil dari pendapat sahabat dalam hal tafsir karena kedudukan mereka adalah marfu (sampai kepada Nabi)
4.    Mengambil berdasarkan bahasa secara mutlak karena Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab yang jelas, dengan membuang alternatif yang tidak tepat dalam Bahasa Arab.
5.    Pengambilan berdasarkan ucapan yang populer di kalangan orang Arab yang sesuai dengan ketentuan syara’[5]

E.     Pembagian Tafsir Bir ra’yi
Tafsir bi al-ra’yi terbagi menjadi dua bagian:
1.    Tafsir al-Mahmudah
Tafsir al-mahmudah adalah suatu penafsiran yang sesuai dengan kehendak syari’at (penafsiran oleh orang yang menguasai aturan syari’at), jauh dari kebodohan dan kesesatan, sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa arab, serta berpegang pada uslub-uslubnya dalam memahami nas-nas Qur’aniyah.
Hukum tafsir bi al-ra’yi al-mahmud menafsirkan al-Qur’an dengan ijtihad dengan tetap memenuhi syarat-syaratnya (menguasai ilmu-ilmu yang mendukung penafsiran al-Qur’an), serta berpegang kepadanya dalam memberikan makna-makna terhadap ayat-ayat al-Qur’an, maka penafsiran itu telah patut disebut tafsir al-mahmud.[6]
Kitab-kitab tafsir bi al-ra’yi yang tergolong al-maḥmūdah yang banyak dikenal, antara lain, adalah:
a.    Tafsir Mafātih al-Ghayb, oleh: Fakhr al-Dīn al-Rāzi.
b.    Tafsir Anwar al-Tanzīl wa Asrar al-Ta’wil, oleh Al-Baidawi
c.    Tafsir Madarik al-Tanzīl wa haqā’iq al-Ta’wil, oleh: Al-Nasafi
d.   Tafsir Lubab al-Ta’wil fi Ma’an al-Tanzil, oleh: Al-Khazin
e.    Tafsir Al-Bahr al-Muhith, oleh: Abu Hayyan
f.     Tafsir Al-Tafsīr al Jalalayn, oleh: Jalāl al-Dīn Al-Mahalliy dan Jalal al-Din Al-Suyuti
g.    Tafsir Ghara’ib al-Qur’ān wa Ragha’ib al-Furqan, oleh: Al-Naisabūriy
h.    Tafsir Al-Siraj al-Munir, oleh: Al Khatib Al-Sharbiniy
i.      Tafsir Irsyâd al-‘Aql as-Salîm, oleh: Abū al-Sa’ūd
j.      Tafsir Ruh al-Ma’āniy, oleh Al-Alusiy[7]
1.    Tafsir al-Madhmumah
Tafsir al-madhmum adalah penafsiran al-Qur’an tanpa berdasarkan ilmu, atau mengikuti hawa nafsu dan kehendaknya sendiri, tanpa mengetahui kaidah-kaidah bahasa atau syari’ah. Atau dia menafsirkan ayat berdasarkan mazhabnya yang rusak maupun bid’ahnya yang tersesat, seperti kitab tafsir al-Kashshaf karya al-Zamakhshāriy.[8]
Sekilas memang banyak ulama tafsir yang memuji ketajaman analisa bahasa dan kesusastraan bahasa al-Qur’an dalam tafsir al-Kashshaf. Namun disayangkan sekali ketika penafsiran-penafsiran  yang dilakukan dirasuki pula dengan dukungan ajaran paham mu’tazilah sering menggunakan al-amthīl (perumpamaan) dan al-takhyīl (pengandaian) sehingga banyak yang menyimpang atau ada ketidakcocokan dengan makna lahir ayat yang sebenarnya, mencela wali Allah, selalu mengarahkan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an ke jalur madzhab mereka, dan lain-lain. Sehingga kalau memang sudah sedemikian parah, sebagaimana pendapat Subhi Salih, tafsir al-Kashshaf dapat digolongkan sebagai tafsir bi al-ra’yi yang madzmumah.[9]
Hukum tafsir bi al-ra’yi al-madhmūmah adalah haram karena menafsirkan al-Qur’an dengan al-ra’yi dan ijtihad semata tanpa ada dasar yang ṣaḥīḥ. Allah berfirman:
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ (الإ ســــراء: ٣٦)
“Dan janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya”. (QS. Al-Isra’: 36)
Contoh-contoh Tafsir al-Madzmūmah
و من كان في هـذه أعمى فهـو في الآخـرة أعمى و أضـل سبيـلا (الإ ســــراء: ٧٢)
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar)”. (QS, Al-Isra’: 72)
Pada ayat ini, sebagian orang bodoh dan tersesat menafsirkan bahwasanya setiap orang yang buta (matanya) di dunia, maka di akhiratpun mereka tetap buta mata, dan akan sengsara dan menderita di akhirat kelak dengan dimasukkannya mereka ke dalam neraka. Padahal yang dimaksudkan dengan buta dalam ayat ini adalah buta hati (عمى القلوب), dengan dalil firman Allah swt,
فاٍنها لا تعمى الأ بصـار و لكن تعمى القلوب التي في الصـدور (الحـج: ٤٦)
“Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada”. (QS, Al Hajj: 46)

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, tafsir bi al-ra’yi adalah upaya menjelaskan makna ayat al-Qur’an dengan menggunkan kemampuan akal pikiran namun tetap dalam batasan yang tidak melenceng dari sharī’ah Islam dan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh para ulama. Terhadap tafsir bi al-ra’yi, sebenarnya, para ulama berbeda pendapat, ada yang membolehkan ada juga yang mengharamkannya. Jika dikaji ulang, sebetulnya pengharaman mereka hanya berlaku kalau di dalam menafsirkan ayat al-Qur’an dengan ra’yu itu tidak terdapat dasar sama sekali atau dilaksanakan tanpa pengetahuan kaidah bahasa Arab, pokok-pokok hukum syari’at dan sebagainya, atau penafsirannya tersebut dipakai untuk menguatkan kemauan nafsu belaka. Mengacu pada pernyataan tersebut para ulama tafsir sepakat membagi tafsir bi al-ra’yi dalam dua bagian, yaitu tafsir al-maḥmūdah dan al-madhmūmah.










DAFTAR PUSTAKA
Mannā’al-Qattann, Mabāhith  fi ‘Ulum al-Qur’an. (Saudi Arabi: al-Dār al-Su’ūdiyāt li al-Nadr, tt),
Muhammad Husain Adz Dzahabi, Ensiklopedia Tafsir (Jakarta : Kalam Mulia, 2009)
Muhammad ‘Aliy al-ashabuniy, al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’ān. (Jakarta: Dinamika Barokah Utama, 1985)



1 muhammad Husain adz dzahzbi, Ensiklopedia tafsir, (Jakarta : Kalam mulia,209) hlm 240
[2] Mannā’al-Qattan, Mabāhith  fi ‘Ulum al-Qur’an. (Saudi Arabi: al-Dār al-Su’ūdiyāt li al-Nadr,tt) hlm 163-165
[3] Adz Dzahabi,  hlm 275
[4] Adz Dzahabi, hlm 240
[6] Muhammad ‘Aliy al-ashabuniy, al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an. (Jakarta: Dinamika Barokah Utama, 1985), hlm 157
[7] Ibid,  hlm195
[8] Ibid, hlm 157
[9] Adz Dzahabi, hlm 454

Tidak ada komentar:

Posting Komentar