BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Tafsir Bir Ra’yi
Berdasarkan
etimologi, Ra’yi berarti keyakinan (I’tiqad), analogi (qiyas) dan ijtihad Dan
ra’yi dalam terminology tafsir adalah ijtihad. Dengan demikian, tafsir bi ar-
ra’yi (disebut jugga tafsir dirayah), sebagaimana di defenisikan Adz- Dzahabi –
adalah tafsir yang penjelasannya diambil
berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufassir setelah mengetahui bahasa arab dan
metodenya, dalil hokum yang di tunjukkan, serta problema penafsiran, seperti
asbab nuzul, dan nasikh – mansukh..[1]
B.
Syarat-Syarat Mufasir Bir ra’yi
Ada
beberapa ketentuan sebagai syarat yang harus dipenuhi oleh mufassir berkaitan dengan
diterima tidaknya dalam melakukan tafsir bi al-ra’yi, yaitu, sebagai
berikut;[2]
a. Mempunyai keyakinan (al-i’tiqād)
yang lurus dan memegang teguh ketentuan-ketentuan agama
b. Mempunyai tujuan yang benar, ikhlas semata-mata
untuk mendekatkan diri (al-taqarrub) kepada Allah swt.
c. Bersandar pada naql pada Nabi saw. dan para
sahabat, serta menjauhi bid’ah.
d. Menguasai 15 bidang ilmu yang diperlukan oleh
seorang mufassir, antara lain; ilmu al-nahwu, al-lughah, al-tarīf, al-istiqāq, ‘ilm
al-ma’āniy,’ ilm al-badī’, ‘ilm al-qirā’at, ushul al-dīn, ushūl al-fiqh, asbāb
al-nuzūl, ‘ilm al-nāsikh wa al-mansūkh, fiqh, hadis-hadis yang
menjelaskan tafsir al-mujmāl dan al-mubhām,
serta ‘ilm
al-mauhibah.
Menurut
al-Dzahabi, ada lima perkara yang harus dijauhi oleh seorang mufassir agar
tidak jatuh dalam kesalahan dan tidak termasuk pentafsir bi
al-ra’yi
yang fasid. Lima perkara tersebut adalah[3]
a. Menjelaskan maksud Allah Swt. dalam al-Qur’an
dengan tanpa memenuhi terlebih dahulu syarat-syarat sebagai seorang mufassir.
b. Mencampuri hal-hal yang merupakan monopoli
Allah untuk mengetahuinya, seperti ayat-ayat al-mutashābihāt yang tidak dapat
diketahui kecuali oleh Allah sendiri.
c. Melakukan penafsiran seiring dengan dorongan
hawa nafsu dan kepentingan pribadi
d. Menafsirkan al-Qur’an untuk mendukung madzhab
yang fasid, sehingga faham aliran menjadi pokok dan tafsir dipaksakan selaras
untuk mengikuti keinginan madzhabnya.
e. Menafsirkan dengan memastikan, “demikianlah
kehendak Allah” terhadap tafsirannya sendiri padahal tanpa ada dalil yang
mendukungnya.
Syarat-syarat
dan hal yang harus dijauhi oleh seorang mufassir tersebut merupakan acuan untuk
mengukur diterima tidaknya sebuah produk tafsir al-Qur’an bi
al-ra’yi. Dengan ketentuan-ketentuan tersebut secara tidak langsung
merupakan syarat mendapatkan legitimasi jumhur ulama untuk diakui dan
ditetapkan sebagai seorang mufassir.
C. Sebab-sebab Timbulnya
Tafsir Bir Ra’yi
Mula-mula
tafsir al-Qur’an disampaikan secara syafāhiy (wicara, dari mulut ke
mulut). Kemudian setelah dimulai pembukuan kitab-kitab kumpulan hadis, maka
tafsir al-Qur’an dibukukan bersama-sama dengan hadis, dan merupakan satu dari
beberapa bab yang terkandung dalam kitab hadis. Pada masa itu belum ada
penafsiran ayat per ayat, surat per surat, dari permulaan mushaf sampai dengan
akhir, dan belum ada penafsiran per judul pembahasan.
Pada
akhir pemerintahan Bani Umayyah dan awal pemerintahan Bani Abbasiyah, di
tengah-tengah masa pentadwinan cabang-cabang ilmu pengetahuan, tafsir al-Qur’an
mulai memisahkan diri dari hadis, hidup mandiri secara utuh dan lengkap. Dalam
artian, tiap-tiap ayat mendapat penafsiran, secara tertib menurut urutan
mushhaf.
Penafsiran
al-Qur’an pada masa-masa pertama memakai cara naqli, yaitu yang terkenal dengan
istilah al-manhaj
al-tafsīr bi al-ma’thūr. Setelah itu para ahli ilmu menafsirkan
al-Qur’an menurut keahlian mereka masing-masing. Kemudian setelah lahirnya
sekte-sekte aqidah didukung dengan semakin berkembangnya ilmu-ilmu kebahasaan
dibuktikan dengan dijadikan ilmu tersebut sebagai disiplin ilmu tersendiri,
bermuncullah penta’wilan terhadap ayat-ayat mutasyabihat, untuk menopang paham
mereka masing-masing, meskipun sebenarnya bibit-bibit ta’wil al-Qur’an sudah
dimulai oleh beberapa sahabat, seperti ‘Aliy bin Abi Ṭālib, ‘Abdullāh bin
Mas’ūd, dan ‘Abdullāh bin ‘Abbās ra. Kemudian setelah itu, melalui Mu’tazilah,
terjadilah perluasan tafsir bi al-ra’yi, sehingga tidak terjadi
pertentangan antara nash al-Qur’an dan akal pikiran, seperti kitab tafsir al-Kashshaf
oleh al-Zamakhshāriy[4]
D. Pedoman Penafsiran dengan Ro’yi
Faktor yang
harus di penuhi dalam penafsiran secara ra’yu, terdiri atas empat pokok
sebagaimana yang kutip oleh Ali Ash-Shaabuuniy yang dikemukakan oleh Az-Zarkasi
dalam kitabnya Al-Burhan yang dikutip
oleh Imam As-Suyuthi dalam kitabnya Al-Itqan,
yaitu:
1.
Merujuk pada Al qur’an itu sendiri, dengan cara
meneliti secara cermat, menghimpun ayat-ayat yang satu topic lalu
membandingkannya dengan ayat lain.
2.
Dikutip dari Rasul dengan memperhatikan hadits-hadits
yang daif dan maudhu’.
3.
Mengambil dari
pendapat sahabat dalam hal tafsir karena kedudukan mereka adalah marfu (sampai
kepada Nabi)
4.
Mengambil
berdasarkan bahasa secara mutlak karena Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab
yang jelas, dengan membuang alternatif yang tidak tepat dalam Bahasa Arab.
5.
Pengambilan
berdasarkan ucapan yang populer di kalangan orang Arab yang sesuai dengan
ketentuan syara’[5]
E.
Pembagian Tafsir Bir ra’yi
Tafsir bi
al-ra’yi terbagi menjadi dua bagian:
1.
Tafsir
al-Mahmudah
Tafsir al-mahmudah adalah
suatu penafsiran yang sesuai dengan kehendak syari’at (penafsiran oleh orang
yang menguasai aturan syari’at), jauh dari kebodohan dan kesesatan, sesuai
dengan kaidah-kaidah bahasa arab, serta berpegang pada uslub-uslubnya
dalam memahami nas-nas Qur’aniyah.
Hukum tafsir bi al-ra’yi al-mahmud menafsirkan al-Qur’an dengan ijtihad dengan
tetap memenuhi syarat-syaratnya (menguasai ilmu-ilmu yang mendukung penafsiran
al-Qur’an), serta berpegang kepadanya dalam memberikan makna-makna terhadap
ayat-ayat al-Qur’an, maka penafsiran itu telah patut disebut tafsir al-mahmud.[6]
Kitab-kitab
tafsir bi al-ra’yi yang tergolong al-maḥmūdah yang
banyak dikenal, antara lain, adalah:
a. Tafsir Mafātih al-Ghayb, oleh:
Fakhr al-Dīn al-Rāzi.
b. Tafsir Anwar al-Tanzīl wa Asrar al-Ta’wil, oleh Al-Baidawi
c. Tafsir Madarik al-Tanzīl wa haqā’iq al-Ta’wil, oleh: Al-Nasafi
d. Tafsir Lubab al-Ta’wil fi Ma’an
al-Tanzil, oleh:
Al-Khazin
e. Tafsir Al-Bahr al-Muhith, oleh: Abu Hayyan
f. Tafsir Al-Tafsīr al Jalalayn, oleh: Jalāl
al-Dīn Al-Mahalliy dan Jalal al-Din Al-Suyuti
g. Tafsir Ghara’ib al-Qur’ān wa Ragha’ib al-Furqan,
oleh: Al-Naisabūriy
h. Tafsir Al-Siraj al-Munir, oleh:
Al Khatib Al-Sharbiniy
i. Tafsir Irsyâd al-‘Aql as-Salîm, oleh: Abū
al-Sa’ūd
1. Tafsir al-Madhmumah
Tafsir al-madhmum adalah
penafsiran al-Qur’an tanpa berdasarkan ilmu, atau mengikuti hawa nafsu dan
kehendaknya sendiri, tanpa mengetahui kaidah-kaidah bahasa atau syari’ah. Atau
dia menafsirkan ayat berdasarkan mazhabnya yang rusak maupun bid’ahnya yang
tersesat, seperti kitab tafsir al-Kashshaf karya al-Zamakhshāriy.[8]
Sekilas
memang banyak ulama tafsir yang memuji ketajaman analisa bahasa dan
kesusastraan bahasa al-Qur’an dalam tafsir al-Kashshaf. Namun disayangkan
sekali ketika penafsiran-penafsiran yang dilakukan dirasuki pula dengan
dukungan ajaran paham mu’tazilah sering menggunakan al-amthīl (perumpamaan) dan al-takhyīl
(pengandaian) sehingga banyak yang menyimpang atau ada
ketidakcocokan dengan makna lahir ayat yang sebenarnya, mencela wali Allah,
selalu mengarahkan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an ke jalur madzhab mereka, dan
lain-lain. Sehingga kalau memang sudah sedemikian parah, sebagaimana pendapat
Subhi Salih, tafsir al-Kashshaf dapat digolongkan sebagai tafsir bi
al-ra’yi yang madzmumah.[9]
Hukum
tafsir bi al-ra’yi al-madhmūmah adalah
haram karena
menafsirkan al-Qur’an dengan al-ra’yi dan ijtihad semata tanpa
ada dasar yang ṣaḥīḥ. Allah berfirman:
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ (الإ
ســــراء: ٣٦)
“Dan janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu
tidak mempunyai pengetahuan tentangnya”. (QS. Al-Isra’: 36)
Contoh-contoh
Tafsir al-Madzmūmah
و من كان في هـذه أعمى فهـو في الآخـرة أعمى و
أضـل سبيـلا (الإ ســــراء: ٧٢)
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia
ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat
dari jalan (yang benar)”. (QS, Al-Isra’: 72)
Pada
ayat ini, sebagian orang bodoh dan tersesat menafsirkan bahwasanya setiap orang
yang buta (matanya) di dunia, maka di akhiratpun mereka tetap buta mata, dan
akan sengsara dan menderita di akhirat kelak dengan dimasukkannya mereka ke
dalam neraka. Padahal yang dimaksudkan dengan buta dalam ayat ini adalah buta
hati (عمى القلوب), dengan dalil firman Allah swt,
فاٍنها لا تعمى الأ بصـار و لكن تعمى القلوب التي
في الصـدور (الحـج: ٤٦)
“Karena
sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di
dalam dada”. (QS, Al Hajj: 46)
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa,
tafsir bi al-ra’yi adalah upaya menjelaskan makna ayat al-Qur’an
dengan menggunkan kemampuan akal pikiran namun tetap dalam batasan yang tidak
melenceng dari sharī’ah Islam dan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh para
ulama. Terhadap tafsir bi al-ra’yi, sebenarnya, para ulama berbeda
pendapat, ada yang membolehkan ada juga yang mengharamkannya. Jika dikaji
ulang, sebetulnya pengharaman mereka hanya berlaku kalau di dalam menafsirkan
ayat al-Qur’an dengan ra’yu itu tidak terdapat dasar sama sekali atau
dilaksanakan tanpa pengetahuan kaidah bahasa Arab, pokok-pokok hukum syari’at
dan sebagainya, atau penafsirannya tersebut dipakai untuk menguatkan kemauan
nafsu belaka. Mengacu pada pernyataan tersebut para ulama tafsir sepakat
membagi tafsir bi al-ra’yi dalam dua bagian, yaitu tafsir al-maḥmūdah
dan al-madhmūmah.
DAFTAR PUSTAKA
Mannā’al-Qattann, Mabāhith
fi ‘Ulum
al-Qur’an. (Saudi
Arabi: al-Dār al-Su’ūdiyāt li al-Nadr, tt),
Muhammad
Husain Adz Dzahabi, Ensiklopedia Tafsir (Jakarta : Kalam Mulia, 2009)
Muhammad
‘Aliy al-ashabuniy, al-Tibyan fi ‘Ulum
al-Qur’ān. (Jakarta: Dinamika Barokah Utama, 1985)
1 muhammad Husain adz dzahzbi, Ensiklopedia tafsir, (Jakarta :
Kalam mulia,209) hlm 240
[2] Mannā’al-Qattan,
Mabāhith fi ‘Ulum al-Qur’an. (Saudi Arabi:
al-Dār al-Su’ūdiyāt li al-Nadr,tt) hlm 163-165
[3] Adz Dzahabi,
hlm 275
[4] Adz
Dzahabi, hlm 240
[6]
Muhammad ‘Aliy al-ashabuniy, al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an. (Jakarta:
Dinamika Barokah Utama, 1985), hlm 157
[7]
Ibid, hlm195
[8]
Ibid, hlm 157
[9]
Adz Dzahabi, hlm 454
Tidak ada komentar:
Posting Komentar